Diskusi Publik “Perempuan dan Kebijakan Publik”
Pontianak, FISIP UNTAN.-
Jurnal Perempuan (JP) bekerja sama dengan prodi Antropologi Sosial, FISIP Universitas Tanjungpura menyelenggarakan diskusi publik yang bertajuk “Perempuan dan Kebijakan Publik” pada hari Kamis (30/3/2017) di Aula Gedung Magister FISIP. Diskusi publik ini menjadi moment terlibat bersama dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai pertimbangan utama dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan publik.
“Ini isu kemartabatan manusia. Karena bagaimanapun juga, isu-isu perempuan adalah isu kita bersama. Kalau negara ini harus sejahtera dan bermartabat, itu artinya kita juga harus menjamin bahwa perempuan di dalam keluarganya harus sejahtera dan bahagia. Kalau perempuan sejahtera dan bahagia, dia akan bisa bekerja dengan tenang, bisa mengembangkan komunitasnya serta berkontribusi pada masyarakat,” ujar Dr. Gadis Arivia (Direktur Eksekutif JP) saat memberikan keynote speech.
Lebih lanjut Dr. Gadis Arivia mengatakan bahwa lebih 50% jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan. Jika produk kebijakan publik mendiskriminasikan bahkan memotong hak-hak perempuan maka negara menjadi disfungsi, tidak akan sejahtera dan maju. Oleh karena itu keadilan untuk perempuan itu penting dan layak untuk terus diperjuangkan bersama.
Acara ini juga menghadirkan sejumlah pembicara yaitu Dr. Syarifah Ema Rahmaniah (Direktur Pusat Studi Pengembangan Perdesaan dan Kawasan Perbatasan, Kaprodi Sosiologi PMIS Untan), Hairiah, S.H. (Wakil Bupati Sambas) dan Lilis Lisnawati, S.Sos (Peneliti di Center for Detention Studies). Diskusi dimoderatori oleh Anita Dhewy, M.Si. (Pemimpin Redaksi JP).
Selama ini ada salah kaprah bahwa isu kesetaraan dan keadilan perempuan dianggap hanya menjadi konsen dan tanggung jawab perempuan sendiri. Padahal harusnya menjadi isu yang perlu diperbincangkan bersama antara perempuan dan laki-laki. Pembicara pertama yaitu Dr. Syarifah Ema Rahmaniah juga mengingatkan kembali bahwa sangat penting membangun koordinasi dan jaringan tetapi sering diabaikan. Selama ini gerakan sering berserak, bekerja sendiri-sendiri.
Bukan hanya tanggung jawab akademisi saja, LSM saja, kepala daerah saja, atau wakil rakyat saja. Namun, kebijakan publik yang setara dan adil gender merupakan tugas dan tanggung jawab bersama. Melalui pendidikan politik pada kaum perempuan, targetnya tidak hanya meningkatkan wakil rakyat yang berkarakter tetapi juga mendorong dan mensosialisasikan menjadi pemilih yang cerdas.
Lilis Lisnawati, S.Sos mempresentasikan hasil penelitiannya tahun 2013-2015 mengenai “Pemenuhan Kebutuhan Khusus Narapidana dan Tahanan Perempuan” di 12 wilayah yang tersebar di Indonesia bahwa perempuan mengalami situasi hidup yang tidak cukup layak selama masa penahanan. “Selain perampasan kemerdekaan, mereka juga mengalami keterbatasan hak untuk mengakses layanan-layanan dasar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka, meskipun ketentuan-ketentuan mengenai pemenuhan kebutuhan ini sudah diatur dalam aturan internasional maupun aturan nasional,” papar lebih lanjut Lilis Lisnawati, S.Sos
Terungkap juga bahwa perempuan tidak pernah melakukan kejahatan karena keinginan dirinya sendiri atau free will sendiri. Perempuan melakukan kejahatan karena alasan-alasan diluar dirinya sendiri terutama keterdesakan di dalam rumah tangga, anak maupun suami. Lilis Lisnawati, S.Sos menceritakan kondisi yang sering terjadi dan problematis, “Begitu juga ibu-ibu yang mencuri. Yang dicuri adalah susu. Kalau tidak mencuri, anaknya nangis terus. Bagaimana caranya? Sedangkan dia nggak bisa keluar ASI. Sedangkan suaminya judi terus. Atau suaminya nikah lagi.”
Beban perempuan menjadi semakin berat ketika kontruksi status perempuan dalam tatanan sosial berada di posisi yang inferior dan terkurung di urusan domestik. Beban dan tekanan yang dialami oleh perempuan ketika melakukan kejahatan terasa lebih berat dan berlipat ganda bahkan dianggap lebih terhina dibandingkan ketika laki-laki melakukan kejahatan. Akhirnya muncul cara pandang yang tidak sensitif gender dan berefek lahirnya aksi-aksi yang diskriminatif.
Sebagai perempuan yang mampu membuktikan kapasistas diri sebagai pemimpin daerah, Hairiah, S.H. (Wakil Bupati Sambas) banyak bercerita mengenai program apa saja yang telah dijalankan untuk meningkatkan kualitas SDM dan taraf hidup perempuan di wilayah di Sambas. Hairiah, S.H. juga mendorong perempuan-perempuan untuk duduk di kursi kepemimpinan mulai dari level desa agar bisa ikut menyusun program-program pemberdayaan yang pro partisipasi perempuan.
Diskusi tambah menarik dengan adanya banyak pertanyaan dari para peserta. Terdapat 9 penanya yang berasal dari beragam latar belakang yaitu LBH, LSM, dosen, mahasiswa, dan pemerintah. Beberapa penanya berbagi cerita mengenai kiprah yang telah dijalankan komunitasnya dalam mendorong perjuangan kesetaraan perempuan di Kalimantan Barat. Seperti yang dilakukan oleh Bu Rosita melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang memberikan kepedulian kepada perempuan-perempuan yang terkena kasus hukum maupun memperjuangkan hak-hak perempuan di rumah tahanan.
Yeni Mada dari Balai Bahasa ikut berbagi ide bahwa kalau mau menggali lebih dalam tentang perempuan akan menemukan banyak hal yang melampaui apa yang selama ini telah dipikirkan oleh masyarakat. Cerita-cerita rakyat atau cerita lisan selalu menunjukkan bahwa perempuan sejak dulu dikenal kuat dan memiliki peran yang besar dalam kehidupan. Seperti dalam bahasa, kita kenal dengan kata “ibu bumi” dan “ibu kota”. Ada banyak hal yang ternyata melampaui dari kekuatan-kekuatan yang bisa diukur oleh manusia. Problemnya saat ini adalah ketika dikatakan perempuan harus maju ke publik tetapi banyak perempuan yang memilih untuk tidak terlihat. Memilih posisi tidak kelihatan karena lebih memilih menjadi pilar-pilar yang kuat dalam keluarga. “Mempelajari perempuan itu harus multidimensi agar bisa melihat lebih luas”, kata Yeni Mada.
Perempuan memiliki potensi yang besar dalam mempengaruhi pembangunan di Kalimantan Barat dan perlu penguatan kapasitas pemberdayaan yang dimulai dari rumah pertama yaitu keluarga.
Refleksi dari diskusi publik ini disampaikan oleh Dr. Syarifah Ema Rahmaniah yang memberikan pertanyaan pamungkas ke seluruh penjuru ruangan, “Setelah diskusi ini kita mau melakukan apa?”. Lanjutnya, bahwa perlu 4 tahap yang saling berkelanjutan untuk bisa lebih efektif mendorong kebijakan publik yang sadar kesetaraan gender. Pertama, diskusi. Kedua, aksi yang bisa diupayakan dengan berbasis komunitas atau instansi dimana kita berada. Ketiga, advokasi untuk komunitas dan masyarakat. Keempat, publikasi semuanya dari tahap diskusi, aksi, advokasi sehingga menjadi role model bahwa di Kalimantan Barat ada komunitas-komunitas pejuang kesetaraan gender yang bersinergi dengan berbagai stakeholder. “Tambahkan energi positif kita untuk agen perubahan di Kalimantan Barat”, pesan dari Dr. Syarifah Ema Rahmaniah.
Acara diskusi publik ini semakin semarak dengan ditampilkannya musik tradisional Sape dan tari Tidayu (Tionghoa, Dayak, Melayu) yang dimainkan dengan suka cita oleh para mahasiswa prodi Antropologi Sosial. Di penghujung diskusi diadakan acara ramah tamah dan foto bersama.
(Prodi Antropologi Sosial/Agus Yuliono)